Posted on Mei 2, 2009 by Abu Ja'far Amri A. Fillah Al Atsary
Hadist yang berbunyi: “Perselisihan di antara umatku adalah rahmat.”
Ternyata hadits tersebut tidak ada sumbernya. Para pakar hadits telah berusaha mendapatkan sumbernya dengan meneliti dan menelusuri sanadnya, namun tidak menemukannya. As-Subuki mengatakan “Hadits tersebut tidak dikenal di kalangan para pakar hadits dan sayapun tidak menjumpai sanadnya yang shahih, dha’if ataupun maudhu’. Pernyataan itu ditegaskan dan disepakati oleh Syeikh Zakaria Al-Anshari dalam mengomentari tafsir Al-Baidhawi II/92. Disitu ia mengatakan “Dari segi maknanya terasa sangat aneh dan menyalahi apa yang diketahui para ulama peneliti.”
Ibnu Hazem dalam kitab Al-Ahkam fi Ushulil Ahkam V/64 menyatakan, “Ini bukan hadits.” Barangkali ini termasuk sederetan ucapan yang paling merusak dan membawa bencana. Bila perselisihan dan pertentangan itu merupakan rahmat, pastilah kesepakatan dan kerukunan itu merupakan kutukan. Ini tidak mungkin akan diucapkan apalagi diyakini oleh kaum muslim yang berpikir tenang dan teliti. Masalahnya hanya dua alternatif, yaitu bersepakat atau berselisih, yang berarti pula rahmat atau kutukan (kemurkaan).
Menurut saya, kata-kata ini akan berdampak negatif bagi umat Islam dari masa ke masa. Perselisihan yang disebabkan perbedaan antar mazhab benar-benar telah mencapai klimaksnya, bahkan para pengikut mazhab yang fanatik tidak segan-segannya meng-kafirkan pengikut mazhab lain. Anehnya, jangankan para pengikut mazhab, para pemimpin atau para ulamanya pun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tidak seorangpun yang berusaha kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabawiyah yang sahih. Padahal itulah yang diperintahkan oleh para imam mazhab yang mereka ikuti.
Imam-imam yang menjadi panutan mereka itu telah dengan tegas berpegang hanya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma dan qiyas. Karena itulah para imam dengan tegas pula menyatakan secara bersama, “Bila hadits itu sahih, maka itulah mazhab-ku. Dan bila ijtihad atau pendapatku bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih, ikutilah A-Qur’an dan Sunnah serta campakkanlah ijtihad dan pendapatku.
Itulah mereka. Sedangkan ulama kita dewasa ini kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada sumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil dan menerima yang sesuai dengannya, namun tak mereka lakukan. Dengan demikian, mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada dalam syariat. Barangkali ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa itu bukan datang dari Allah SWT. Kalau saja mereka itu mau benar-benar mengkaji dan mempelajari Al-Qur’an serta mencamkan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 82, yang artinya : “….Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa’: 82). Ayat tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan bukanlah dari Allah SWT. Kalau demikian bagaimana mungkin perselisihan itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi merupakan suatu rahmat yang diturunkan Allah SWT? La haula wala quwwata illa billah!
Karena adanya ucapan itulah, banyak umat Islam setelah masa para imam –khususnya dewasa ini– terus berselisih dan berbeda pendapat dalam banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. Kalau saja mereka mau mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan dikecam Al-Qur’an dan Sunnah pastilah mereka akan segera kembali ke persatuan dan kesatuan.
Ringkasnya perselisihan dan pertentangan itu dikecam oleh syariat dan yang wajib adalah berusaha semaksimal mungkin untuk meniadakan dan menjauhkannya dari umat Islam sebab hal itu menjadi penyebab utama melemahnya umat Islam seperti yang difirmankan Allah SWT: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu….” (Al-Anfal : 46). Adapun merasa rela terhadap perselisihan dan menamakannya sebagai rahmat jelas sekali menyalahi Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih. Dan nyatanya ia tidak mempunyai dasar kecuali ucapan di atas yang tidak bersumber dari Rasulullah SAW.
Barangkali muncul pertanyaan: para sahabat Rasulullah SAW telah berselisih pendapat, padahal mereka adalah seutama-utamanya manusia. Lalu apakah mereka juga termasuk yang dikecam Al-Qur’an dan Sunnah? Pertanyaan semacam itu dijawab oleh Ibnu Hazem : Tidak! Sama sekali tidak! Mereka tidak termasuk yang dikecam Al-Qur’an dan Sunnah sebab mereka masing-masing benar-benar mencari mardhatillah dan demi untuk-Nya semata. Diantara mereka ada yang mendapat satu pahala karena niat yang baik dan kehendak demi kebaikan. Sungguh telah ditiadakan dosa atas mereka karena kesalahan yang telah mereka lakukan. Mengapa? Karena mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud (berselisih) dan tidak pula meremehkan dalam mencari (kebenaran). Bagi mereka yang mendapat kebenaran baginya dua pahala. Begitulah umat Islam hingga hari kiamat nanti.
Adapun kecaman dan ancaman yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah ditujukan bagi mereka yang dengan sengaja meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah setelah keduanya sampai di telinga mereka dan adanya dalil-dalil yang nyata di hadapan mereka serta kepada mereka yang menyandarkan pada si Fulan dan si Fulan, bertaklid dengan sengaja demi satu ikhtilaf, mengajak pada fanatisme sempit ala jahiliyah demi menyuburkan firqah.
Mereka sengaja menolak Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah. Kecaman dan ancaman tadi khusus untuk mereka yang bila isi Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginannya lalu mereka ikuti; tetapi bila tidak sesuai, mereka kembali pada ashabiyah jahiliyahnya. Karena itu, berhati-hati dan waspadalah terhadap semua itu bila Anda mengharapkan keselamatan dan kesuksesan pada hari yang tiada guna harta dan keturunan kecuali orang-orang yang menghadap Allah SWT dengan hati bersih. (Lihat Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam V/67-68).
[Diambil dari SILSILAH HADITS DHA'IF DAN MAUDHU' JILID 1, Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani] dari mailing list:
assunnah@yahoogroups.com
“Perbedaan Pendapat Di Kalangan Umatku Adalah Rahmat”
Mukaddimah
Perbedaan pendapat merupakan sunnatullah di muka bumi ini namun apakah dapat dikatakan bahwa ia merupakan rahmat bagi umat Islam?
Tentunya jawaban atas hal ini selalu dilandaskan kepada sebuah hadits yang amat masyhur, yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Nah, pada kajian kita kali ini, akan sedikit berbicara tentang hadits tersebut dan kualitasnya, semoga dapat bermanfa’at.
NASKAH HADITS
اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.”
Penjelasan:
Hadits dengan redaksi seperti ini sebagai yang disebutkan Imam as-Suyûthiy dalam buku yang kita kaji ini (ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah) diriwayatkan oleh Syaikh Nashr al-Maqdisiy di dalam kitabnya “al-Hujjah” secara marfu’ dan al-Baihaqiy di dalam kitabnya “al-Madkhal” dari al-Qasim bin Muhammad, yaitu ucapannya,
“Dan dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dia berkata,
مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ لَمْ يَخْتَلِفُوْا، ِلأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
“Tidak menyenangkanku andaikata para shahabat Muhammad itu tidak berbeda pendapat, karena andaikata mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak ada rukhshoh (keringanan/dispensasi)”
Setelah ucapan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ini, Imam as-Suyûthiy mengomentari,
“Menurutku, ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah perbedaan mereka di dalam hukum. Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah perbedaan di dalam bidang skill dan pekerjaan. Ini disebutkan oleh beberapa orang.
Dan di dalam Musnad al-Firdaus dari jalur Juwaibir, dari adl-Dlahhâk dari Ibn ‘Abbas secara marfu’ disebutkan,
اِخْتِلاَفُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ
“Perbedaan pendapat para shahabatku bagi kalian adalah rahmat.”
Ibn Sa’d di dalam kitabnya “ath-Thabaqât” berkata, ‘Qabîshah bin ‘Uqbah menceritakan kepada kami, dia berkata, ‘Aflah bin Humaid menceritakan kepada kami, dia berkata, ‘dari al-Qâsim bin Muhammad berkata,
كَانَ اخْتِلاَفُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِلنَّاسِ
“Perbedaan para shahabat Muhammad itu merupakan rahmat bagi umat manusia.” [Selesai ucapan Ibn Sa’d].
CATATAN:
Penahqiq (analis) atas buku yang kita kaji ini, yaitu Syaikh. Muhammad Luthfy ash-Shabbâgh memberikan beberapa anotasi berikut: “Hadits ini kualitasnya Dla’îf (Lemah).
Untuk itu, silahkan merujuk kepada buku-buku berikut:
1. al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.26
2. Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr ‘Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba’, h.9
3. Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs ‘Amma isytahara Min al-Ahâdîts ‘Ala Alsinah an-Nâs, karya al-‘Ajlûniy, Jld.I, h.64
4. al-Asrâr karya ,no.17 dan 604
5. Dla’îf al-Jâmi’ karya Syaikh al-Albâniy, no.230
6. Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah karya Syaikh al-Albâniy, no.57
7. Tadzkirah al-Mawdlû’ât karya al-Fitniy, h.90
8. Tadrîb ar-Râwiy karya Imam as-Suyûthiy, h.370
9. Faydl al-Qadîr karya as-Sakhâwiy, jld.I, h.209-212, di dalam buku ini Imam as-Subkiy berkata, “(Hadits ini) tidak dikenal di kalangan para ulama hadits dan saya tidak mengetahui ada sanad yang shahih, dla’if atau mawdlu’ mengenainya.”
Menurut saya (Syaikh Muhammad Luthfiy), “Perbedaan pendapat itu bukanlah rahmat tetapi bencana akan tetapi ia merupakan hal yang tidak bisa dihindari sehingga yang dituntut adalah selalu berada di dalam koridor syari’at dan tidak menjadi sebab perpecahan, perselisihan dan perang.”
(Sumber: ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy, tahqiq Syaikh. Muhammad Lutfhfy ash-Shabbâgh, h.59, no.6)
Sumber: www.alsofwah.or.id Diarsipkan di bawah: Al Masaail
Dari: http://ainuamri.wordpress.com/2009/05/02/membongkar-kepalsuan-hadis-populer-yang-berbunyi-perbedaan-pendapat-diantara-umat-islam-adalah-rahmat/